Tetap semangat MERDEKA, sekali merdeka tetap MERDEKA ! Merdeka mengajar juga, Kawan…!!
Setelah melewati pandemi corona, rasa-rasa momentum Hari Kemerdekaan Indonesia menghadirkan banyak cerita, kan?
Yup, awal hal yang bisa kita kisahkan bahwa ternyata negeriku tercinta semakin bertambah tua. Lihat saja usia Indonesia yang sudah 77 tahun. Meski begitu, pandemi corona benar-benar ujian yang sulit, ya. Semua aspek kehidupan kita bergejolak, bahkan isi dompet pun kering hingga terkoyak-koyak. Hemm……. Kita harus kuat. Bangsa Indonesia itu tangguh, maka sudah sepantasnya semangat juang kita pupuk agar terus bertumbuh. Tiba di Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2022, ada persembahan cerita pendek yang singkat dan inspiratif dari saya.
Mau baca? Mau dong. Mari langsung disimak saja, ya. Mudah-mudahan bisa menjadi landasan pacu untuk lebih mencintai negeri Indonesia. Ada dua kisah perjuangan yang akan saya sajikan dengan situasi, kondisi, keadaan, dan suasana yang berbeda namun berkaitan langsung dengan tema kemerdekaan.
Langsung disimak saja, ya:
Cerita 1
Matahari sudah kembali terbit. Hari itu almanak sudah tanggal 7 Agustus 2022, tapi entah mengapa pak Agus belum kunjung memasang bendera.
Aneh rasanya, padahal para tetangganya bahkan seluruh warga desa sudah memasang bendera merah putih untuk berkibar di depan halaman rumah.
Sehari-hari Pak Agus memang sibuk. Sebagai seorang kurir, setiap saat ia harus pergi ke sana kemari demi mengantarkan paket dan kiriman yang sebelumnya dipesan oleh pembeli secara online.
Tapi, ya, jangankan Pak Agus. Semua orang juga sibuk, kok. Rasanya siapa pun yang tinggal di Bumi Pertiwi tercinta akan tergerak untuk memasang bendera kebangsaan RI untuk menyambut momentum kemerdekaan. Tidak terkecuali, Pak Agus pasti lebih mengerti.
Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Pak Agus diberi libur kerja dan sekarang ia sedang santai bermain dengan anak semata wayangnya yang baru berusia 8 tahun.
Ya, anak beliau adalah seorang laki-laki yang sedang duduk di kelas 3 SD. Namanya Bima.
“Ayah, Ayah. Mengapa kok di halaman rumah kita tidak memasang bendera merah putih? Kan sebentar lagi ada perayaan HUT ke-77 RI?”
“Tidak apa-apa, Nak. Toh sekarang jalan raya sedang sepi karena pandemi corona. Para tetangga juga jarang bertamu. Tambah lagi dengan Ayah, tiap hari Ayah bepergian ke sana kemari. Sudah puas rasanya melihat kibaran bendera.”
“Tapi Bima malu, Ayah! Masa teman-temanku bilang bahwa keluarga kita tidak mau mengenang jasa para pahlawan yang dulu berjuang melawan penjajah.”
“Lho, Bima kan setiap hari Senin melaksanakan upacara, kemudian juga mengheningkan cipta. Semua itu dilakukan untuk mengenang jasa para pahlawan, kan? Cukup. Ayah mau beli cemilan sebentar.”
Lagi-lagi Bima tidak puas dengan jawaban Pak Agus. Dirinya semakin bingung dan gelisah, entah apa alasan yang bakal ia katakan kepada guru maupun teman-temannya.
Ah, sudah! Itu urusan nanti. Bima pun menenangkan hatinya dengan membaca buku motivasi dan kisah perjuangan para pahlawan kemerdekaan.
Lima belas menit berlalu, Pak Agus pun sudah tiba di rumah sembari membawa sebungkus gorengan. Ketika ingin menyapa Bima, tiba-tiba Sang Ayah terdiam di sudut pintu seraya meneteskan air mata.
Pak Agus tak kuasa mendengar kata demi kata yang dibacakan oleh Bima dengan suara lantang.
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Tertanda: Ir. Soekarno.”
Ayah sekaligus kurir ini menyadari bahwa dirinya sudah menyombongkan diri, merasa telah berbuat baik, menganggap profesi kurir sebagai seseorang yang paling berjasa di Bumi Indonesia. Padahal, perjuangan para pahlawan dahulu sungguh penuh dengan darah.
Tanpa berpikir panjang, Pak Agus pun segera mencari bendera merah putih yang selama ini tersimpan di lemari.
Bendera tersebut ternyata masih baru dan warnanya sangat cerah. Tapi sayang, karena tidak disilakan berkibar penampilannya jadi lusuh. Bukan lusuh warna benderanya, tapi hati Pak Agus. Lusuhnya bendera bisa dibersihkan dengan cara dicuci, tapi lusuhnya hati siapa yang tahu. Butuh kerelaan untuk memahami, menghargai, merenungi, dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan Indonesia. Salam Merdeka!
Lima belas menit berlalu, Pak Agus pun sudah tiba di rumah sembari membawa sebungkus gorengan. Ketika ingin menyapa Bima, tiba-tiba Sang Ayah terdiam di sudut pintu seraya meneteskan air mata.
Pak Agus tak kuasa mendengar kata demi kata yang dibacakan oleh Bima dengan suara lantang.
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Tertanda: Ir. Soekarno.”
Ayah sekaligus kurir ini menyadari bahwa dirinya sudah menyombongkan diri, merasa telah berbuat baik, menganggap profesi kurir sebagai seseorang yang paling berjasa di Bumi Indonesia. Padahal, perjuangan para pahlawan dahulu sungguh penuh dengan darah.
Tanpa berpikir panjang, Pak Agus pun segera mencari bendera merah putih yang selama ini tersimpan di lemari. Bendera tersebut ternyata masih baru dan warnanya sangat cerah. Tapi sayang, karena tidak disilakan berkibar penampilannya jadi lusuh.
Bukan lusuh warna benderanya, tapi hati Pak Agus. Lusuhnya bendera bisa dibersihkan dengan cara dicuci, tapi lusuhnya hati siapa yang tahu. Butuh kerelaan untuk memahami, menghargai, merenungi, dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan Indonesia. Salam Merdeka!
Cerita 2
Walau begitu, sungguh tak mengapa. Sampah dan kotornya tepi jalan menjadi ladang rezeki bagi wanita tua itu. Ia merasa beruntung dan merdeka walau hanya bekerja sebagai tukang sapu jalan.
Setidaknya, ia bisa selalu bangun pagi. Jauh sebelum pagi, tepatnya saat fajar akan membuka mata. Wanita tua itu merasa sehat, dan hatinya juga semakin cerah ketika melihat sudut-sudut jalan yang semakin bersih.
Baginya, tepi jalan yang bersih adalah bagian dari kemerdekaan. Wanita tua itu merasa iri dengan para pahlawan yang berjuang siang-malam pagi-petang bermodalkan bambu runcing hingga bertumpah darah, sedangkan dirinya? Hanya bermodalkan sapu yang setiap hari lidinya terus bertambah patah.
Tiada alasan baginya untuk mengeluh. Setidaknya, kucuran keringat saat menyapu di tepi jalan adalah salah satu perjuangan kemerdekaan yang bisa ia lakukan. Setidaknya untuk saat ini.
Salam Merdeka!
***
Kedua cerpen tersebut mengisahkan tentang betapa pentingnya kemerdekaan.dan perjuangan. Maka dari itu, sudah sepatutnya kita bersyukur serta melanjutkan cita-cita para pahlawan bangsa.
Salam Sehat dan Merdeka !!.
Merah Putih
Di bawah kibaran merah putih
bayangnya berdansa dengan pasir yang kupijak
melekuk, meliuk, menggelora
Aku tersimpuh
Di bawah naungan merah putih
yang enggan turun, enggan layu
setelah lama badai menghujamnya
Aku bangkit
Mencari pijakan yang kuat
menepis debu yang menggelayutiku
menebalkan lagi tapak kakiku
ini waktuku berdiri!
Tak lagi aku lengah, takkan..!!
ini tanah bukan tanah tanpa darah
ia terhampar bukan tanpa tangis
terserak cecer tiap partikel mesiu di sana
Jika pada patahan waktu yang lalu
aku bersembunyi, berkarung
pada lipatan detik ini, aku bukanlah kemarin
aku adalah detik ini, aku akan menjadi esok
Aku terhuyung
memegang erat tiang merah putih
aku memanjat asa, memupuk tekad
Indonesia, pegang genggam beraniku
Tinggalkan Komentar